
JAKARTA, LEI – Ketika pertama kali diumumkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 lalu oleh WHO jumlah infeksi di seluruh dunia telah mencapai lebih dari 121.000.
Indonesia masih merasa aman dari wabah virus yang sudah melumpuhkan sebagian negara-negara di dunia, Presiden Joko Widodo pada awal Maret lalu yang tadinya membuat masyarakat berada di zona nyaman, harus mengakui kekalahan dengan adanya laporan kasus covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2 atau yang lebih dikenal dengan sebutan virus Corona.
Dari aspek regulasi, setidaknya Indonesia memiliki dua undang-undang dan satu Peraturan Pemerintah yang tegas mengatur spesifikasi penanganan wabah yaitu UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketiga instrumen hukum tersebut belum terlalu lengkap diatur oleh peraturan teknis di bawahnya, terutama UU 6 Tahun 2018. Hal ini menjadi kendala dan urgen menjadi prioritas pemerintah.
Untuk mencegah meluasnya sebaran Covid 19, Pemerintah-pun telah melakukan berbagi upaya untuk memutus mata rantai penularan virus Covid 19. Imbauan menggunakan masker, rajin mencuci tangan pakai sabun, social distancing, physical distancing, WFH, SFH, beribadah di rumah, sampai dengan penerapan PSBB. Namun nampaknya upaya pencegahan tersebut belum efektif sebagaimana yang diharapkan karena disebabkan berbagai faktor seperti perilaku tidak disiplin dari warga masyarakat dalam melaksanakan anjuran/himbauan pemerintah. Akibatnya orang yang terpapar Covid 19 terus saja bertambah.
Kondisi ini perlu dikaji dan ditelaah secara cepat, tepat, dan terukur melalui berbagai perspektif, termasuk perspektif hukum adat. Para ahli dan pengajar hukum adat tentu perlu berkontribusi dalam memberikan pertimbangan matang agar pemerintah dapat memutus persebaran pandemi Covid 19 Dari Perspektif Hukum Adat”.