
Oleh Theo Yusuf, MS *
Ketika peraturan itu diluncurkan, hampir semua perusahaan tidak mengalami persoalan karena ada klaster permodalan yang ditetapkan oleh otoritas itu. Bagi perusahaan yang mempunyai aset besar, ruang pembiayaannya tentunya diberi porsi besar semisal urusan infrastruktur dan sektor perhubungan dan kontruksi lainnya.
Namun ketika OJK akan meningkatkan jumlah permodalan (baca modal ekuitas) hingga Rp100 miliar, banyak perusahaan yang menilai peraturan itu bagian dari “lonceng kematian” perusahaan MF lokal.
Belum lama ini, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan, Bambang W. Budiawan mengatakan, dari 46 perusahaan tersebut bahkan masih ada yang modalnya di bawah Rp40 miliar. Oleh karenannya, tentu perlu menaikkan modalnya sesuai dengan aturan yang baru nanti.
Pada intinya, dari 11 perusahaan itu tidak sependapat dengan peraturan baru OJK itu, namun tidak berani melawan karena otoritas itu punya senjata pamungkas untuk tidak meloloskan para direksi perusahaan itu jika melakukan uji kepatutan (fit and proper test) yang dinilai menentang keputusan itu.
Lonceng Kematian
Menurut peneltian LSHI, Dr. Laksanto Utomo, aturan OJK meningkatkan permodalan itu mesti telah dirancang sejak jauh hari sementara perusahaan lokal juga tidak mampu memenuhi permodalannya sehingga peraturan itu bagaikan bunyi lonceng kematian perusahaan multi finance di dalam negeri yang bermodal gurem.
Saat ini sejumlah negara sudah siap “melahap” perusahaan multi finance yang alami eksulitan modal tersebut antara lain dari Singapura, Korea Selatan, Jepang dan China.
Baca juga
Para pengusaha dari negeri itu cukup siap membeli, atau melakukan akuisisi karena mereka mengerti bangsa Indonesia cukup konsumtif khususnya terhadap barang impor.
Dengan modal perusahaan multi finance yang besar kemudian mengintegrasikan kepada pemilik produk, seperti HP dan perkakas lainnya, maka semua produk barang dan jasa yang dibeli sebagian masyarakat luas dapat dibiayai oleh perusahaan itu, sehingga marginnya tentu akan mengalir ke mereka juga.
Itu yang mestinya OJK juga melihat terhdap dampak dari kenaikan modal itu jika perusahaan lokal tidak mampu mememuhi permodalan sampai akhir tahun ini yang terjadi penjualan perusahaan, merger, pengembalian ijin atau pencabutan usaha karena dinilai melanggar aturan OJK.
Itulah sebabnya, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno, dalam diskusi terbatas belum lama ini mengingatkan kepada semua anggota untuk mulai serius memenuhi aturan itu.
“Sebenarnya OJK itu sudah memberikan toleransi yang cukup panjang dari tahun 2014 sampai akhir tahun ini, kepada perusahaan multi finance meningkatkan permodalnnya dari Rp10 miliar hingga 100 miliar secara bertahap.
Hal itu wajar karena kurs nilai tukar saat itu hanya sekitar Rp9.750 per dolar AS. Saat ini nilai tukar sudah mencapai sekitar Rp14 ribuan per dolar. Artinya kenaikan permodalan itu wajar saja,” katanya.
Oleh karenanya, Ketua APPI itu menyarankan agar perusahaan pembiayaan yang saat ini belum mampu meningkatkan permodalannya hingga Rp100 miliar, sebaiknya mencari alternatif untuk mencari investor lokal, merger dengan sesama, atau berusaha menambah modal sendiri oleh para pemiliknya.
Hal ini untuk menegaskan agar perusahaan pembiayaan yang punya prospek baik di Indonesia itu juga tidak jatuh ke pihak asing.
“Saya juga tak setuju jika mereka yang tidak mampu meningkatkan permodalnnya itu dijual ke pihak asing karena sudah banyak perusahaan jasa keuangan asing yang awalnya biasa-biaa saja, kemudian melesat cepat karena modal dan teknologi informasi (IT) yang cukup baik,” katanya.
Industri jasa keuangan di Indonesia agaknya sulit untuk menjadi “tuan” di negerinya sendiri. Tahun 1990-an Perusahaan asuransi Bumiputera, swasta dan Asuransi Jiwasraya kala itu sebagai pemimpin pasar di Indonesia.
Setelah manulife, Prudential dan Lippo Group masuk dengan membawa modal dan teknologi tinggi, kini hampir semua perusahan asuransi lokal itu tinggal menunggu waktu untuk diukuisisi atau di merger lantaran kekurangan modal dan tak mampu meningkatkan IT nya.
Peraturan OJK No 35/POJK.05 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang ditetapkan pada 27 Desember 2018, mencabut aturan lama tentang POJK No.29 tahun 2014.
Dengan dicabutnya itu suka atau tidak semua perusahan pembiayaan sampai akhir tahun ini wajib menjalankan Pasal 87 Peraturan itu yang antara lain menyebutkan: Perusahaan pembiayaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, wajib memiliki ekuitas sedikitnya Rp100 miliar, sementara untuk badan hukum Koperasi minimal Rp50 miliar, paling lambat per 31 Desember 2019.
Namun dalam Pasal 88 peraturan itu juga mengingatkan, bagi perusahaan yang sulit memenuhi jumlah ekuitas itu yang penting modal disetornya mencapai 50 persen dari ketentuan peraturan OJK.
Menurut Ketua APPI, pasal 88 itu sudah dikompromikan dengan asosiasi agar memberikan ruang gerak yang lebih longgar kepada perusahaan.
Lagi pula, ketentuan itu sesungguhnya dilakukan secara bertahap, awalnya ekuitas Rp40 miliar kemudian dinaikkan sejalan dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan harga lainnya hingga Rp100 miliar.
Dalam Ketentuan OJK itu agaknya wajib dipenuhi, karena jika tidak para direksi akan mendapat sanksi administratif dan selain itu sejumlah syarat dalam Pasal 111 s.d 112 POJK No 35/2018 lebih dari 16 poin itu harus dipenuhi oleh para pemilik dan direksi.
Jika, tak juga mampu memenuhi syarat itu, hanya otoritas keuangan yang cukup kuat itulah yang akan memberikan sanksi lanjutan.
Semoga peraturan OJK itu tidak dimaksudkan untuk menekan perusahaan lokal yang secara umum masih butuh usaha meski jumlah modalnya terbatas.*
*) Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Hukum Indonesia, dan wartawan utama
168425 599202Hey I was just searching at your web site in Firefox and the image at the top with the link cant show up properly. Just thought I would let you know. 435960
19989 790625Some truly good and utilitarian info on this internet internet site , besides I feel the layout holds fantastic attributes. 801229